Sabtu, 22 Desember 2012

Ki Hajar, Fuad Hasan dan 2 Mei


Ki Hajar, Fuad Hasan dan 2 Mei
Oleh : Arum Titis Harlin dan Berbagai Sumber

Sebagai seorang pendidik pasti seringkali mendengar, seorang guru haruslah professional. Kemudian yang muncul dalam benak kita adalah sebuah pertanyaan.Guru yang profesional  itu seperti apa sih?.
Apakah yang bersertifikasi dengan tunjangan yang melimpah dan bergaji dobel ?.
Apakah yang paling banyak mengumpulkan piagam ?.
Apakah yang sering mengikuti seminar ?.
Apakah yang bertitel tinggi ?.
Ataukah yang bisa mengajar dengan kedisiplinan tinggi ?.
Mungkin jika kita “sedikit” bisa seperti Ki Hajar Dewantoro dan Fuad Hasan, maka bolehlah dikatakan dan dikategorikan sebagai guru professional.
Menurut bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro. Dalam pendidikan itu ibarat membuat nasi goreng. Pada waktu lampau nasi goreng hanya berbumbu sekedar bawang merah, bawang putih, cabe, dan garam. Kemudian berkembang ditambah kecap, ditambah saus, ditambah telur. Bahkan sekarang campuranya bermacam-macam. Ada daging sapi, daging ayam, jeroan ditambah sayuran ada daun sawi, kol, mentimun, bahkan di pasar lama Purbalingga ada menu nasi goreng pete.
Intinya adalah ilmu pengetahuan itu selalu berkembang terus menerus dan tiada henti bertransformasi pada semua aspek kehidupan. Propinsi bertambah, Undang- undang di amandemenkan, ataupun  penemuan baru  dalam pelbagai bidang adalah sedikit dari transformasi pengetahuan yang ada.
Kembali ke nasi goreng,  dimana cara memasak, dan menyajikanya harus benar benar diperhatikan supaya  pembeli merasa nyaman dan benar-benar dapat menikmati. Bumbu mana yang didahulukan dan mana yang diakhirkan juga pengapian yang baik. Artinya dalam memberikan pelajaran itu harus kreatif, runtut, holistic dan tidak parsial supaya dalam proses “Transfer of Knowledge” peserta didik dapat menikmati dengan perasaan senang, dan nyaman.
Sedangkan fuad  Hasan secara pribadi jelas-jelas saya tidak mengenalnya, tapi saya tahu persis bahwa beliau pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika saya masih di SMP tahun 1985. Orangnya tampan, hidung mancung, gagah dan selalu berkacamata.
Tapi baru kemarin saya sedikit mengenal hasil karyanya, itupun tanpa sengaja, saya menemukan buku karanganya berjudul “ HETERONOMIA” Penerbit Pustaka Jaya cetakan ketiga 1993.
Buku ini mengemukakan gejala-gejala yang dialami oleh suatu masyarakat dalam proses pembaruan, baik itu satra, budaya, kesenian dalam kehidupan sehari hari.didalamnya juga akan tampak bagaimana masyarakat dalam proses tersebut akan mengalami kejutan-kejutan mental yang menunjukan bahwa proses tersebut tidak senantiasa berjalan luwes dan tenang. Dan norma–norma sosial cenderung menghindari keseragaman, tapi menampilkan keanekaragaman yang melibatkan seluruh komponen masyarakat yang heteronomy.
Karena berbentuk kolom saya sebenarnya cukup kesulitan untuk memahami secara keseluruhan. Seringkali saya mengerutkan kening dan memeras otak, tidak seperti kolumnis yang kita kenal seperti Moh. Sobari, Remy Silado, N. Riantiarno, dan Dahlan Iskan yang begitu mudah tulisanya untuk dipahami juga kadang menggugah empati dan simpati. Maka persepsi yang timbul pada diri saya adalah fuad Hasan orang yang sulit untuk dipahami dan kaku dalam pergaulan. Tapi betapa kagetnya ketika membaca Catatan Pinggir 3 dengan judul “GURU”.
Penulis sekaliber Gunawan Muhamad, Begawan kolumnis Indonesia yang layak mendapat Nobel Sastra itu begitu mengagumi Prof. Fuad Hasan. Dalam tulisanya, biarpun sudah 20 tahun tanpa membaca buku ia (Gunawan) masih teringat akan pelajaranya. Inilah sebagian cuplikanya :
“Dosen kurus berpakaian putih-putih  itu bernama Fuad Hasan. Kini ia Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Saya tak tahu bagaimana kelak ia akan dikenang sebagai seorang menteri dalam sejarah, tapi ia akan tetap saya  ingat sebagai seorang guru dari jenis yang punya jejak panjang.
Guru jenis ini bias menggugah minat. Ia  bias merangsang keasyikan menalar hingga kitapun jadi tekun menggunakan kapasitas pemikiran kita untuk memecahkan soal. Ia menghidupkan generator dalam diri kita untuk menjelajahi cakrawala pengetahuan dan menjelajahi cakrawala adalah proses yang tak habis-habisnya. Karena itu jejaknya panjang.
Saying tak semua guru seperti Fuad Hasan
( Catatan Pinggir 3 “GURU” hal.474)
Terus terang Gunawan Muhamad adalah penulis satu-satunya yang saya kagumi dan saya idolakan. Membaca buku-bukunya seolah-olah kita menjadi orang yang paling tahu  dalam segala hal. Tapi begitu ia (Gunawan) amat mengagumi
Fuad Hasan seolah-olah jiwa saya mengikutinya. Oleh karena itu dari puncak pegunungan sirau dan ruang sudut kantor SD terpencil saya ucapkan :
“Selamat hari Pendidikan Nasional semoga kita bisa menjadi Guru yang dapat membuat nasi goreng komplit dan punya jejak panjang dalam artian murid merasa nikmat dan nyaman dalam belajar dimana tanpa membuka buku dia akan teringat pelajaran selamanya, amien. “




                                                                                                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar