Ki Hajar, Fuad Hasan dan 2 Mei
Oleh : Arum Titis Harlin dan Berbagai Sumber
Sebagai seorang pendidik pasti seringkali mendengar, seorang guru
haruslah professional. Kemudian yang muncul dalam benak kita adalah sebuah
pertanyaan.Guru yang profesional itu
seperti apa sih?.
Apakah yang
bersertifikasi dengan tunjangan yang melimpah dan bergaji dobel ?.
Apakah yang
paling banyak mengumpulkan piagam ?.
Apakah yang
sering mengikuti seminar ?.
Apakah yang
bertitel tinggi ?.
Ataukah yang
bisa mengajar dengan kedisiplinan tinggi ?.
Mungkin jika
kita “sedikit” bisa seperti Ki Hajar Dewantoro dan Fuad Hasan, maka bolehlah
dikatakan dan dikategorikan sebagai guru professional.
Menurut bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro. Dalam pendidikan itu
ibarat membuat nasi goreng. Pada waktu lampau nasi goreng hanya berbumbu
sekedar bawang merah, bawang putih, cabe, dan garam. Kemudian berkembang ditambah
kecap, ditambah saus, ditambah telur. Bahkan sekarang campuranya
bermacam-macam. Ada daging sapi, daging ayam, jeroan ditambah sayuran ada daun
sawi, kol, mentimun, bahkan di pasar lama Purbalingga ada menu nasi goreng pete.
Intinya adalah ilmu pengetahuan itu selalu berkembang terus menerus dan
tiada henti bertransformasi pada semua aspek kehidupan. Propinsi bertambah, Undang-
undang di amandemenkan, ataupun penemuan
baru dalam pelbagai bidang adalah
sedikit dari transformasi pengetahuan yang ada.
Kembali ke nasi goreng, dimana
cara memasak, dan menyajikanya harus benar benar diperhatikan supaya pembeli merasa nyaman dan benar-benar dapat
menikmati. Bumbu mana yang didahulukan dan mana yang diakhirkan juga pengapian
yang baik. Artinya dalam memberikan pelajaran itu harus kreatif, runtut,
holistic dan tidak parsial supaya dalam proses “Transfer of Knowledge” peserta
didik dapat menikmati dengan perasaan senang, dan nyaman.
Sedangkan fuad Hasan secara
pribadi jelas-jelas saya tidak mengenalnya, tapi saya tahu persis bahwa beliau
pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika saya masih di
SMP tahun 1985. Orangnya tampan, hidung mancung, gagah dan selalu berkacamata.
Tapi baru kemarin saya sedikit mengenal hasil karyanya, itupun tanpa
sengaja, saya menemukan buku karanganya berjudul “ HETERONOMIA” Penerbit
Pustaka Jaya cetakan ketiga 1993.
Buku ini mengemukakan gejala-gejala yang dialami oleh suatu masyarakat
dalam proses pembaruan, baik itu satra, budaya, kesenian dalam kehidupan sehari
hari.didalamnya juga akan tampak bagaimana masyarakat dalam proses tersebut
akan mengalami kejutan-kejutan mental yang menunjukan bahwa proses tersebut
tidak senantiasa berjalan luwes dan tenang. Dan norma–norma sosial cenderung
menghindari keseragaman, tapi menampilkan keanekaragaman yang melibatkan
seluruh komponen masyarakat yang heteronomy.
Karena berbentuk kolom saya sebenarnya cukup kesulitan untuk memahami
secara keseluruhan. Seringkali saya mengerutkan kening dan memeras otak, tidak
seperti kolumnis yang kita kenal seperti Moh. Sobari, Remy Silado, N.
Riantiarno, dan Dahlan Iskan yang begitu mudah tulisanya untuk dipahami juga
kadang menggugah empati dan simpati. Maka persepsi yang timbul pada diri saya
adalah fuad Hasan orang yang sulit untuk dipahami dan kaku dalam pergaulan.
Tapi betapa kagetnya ketika membaca Catatan Pinggir 3 dengan judul
“GURU”.
Penulis sekaliber Gunawan Muhamad, Begawan kolumnis Indonesia yang layak
mendapat Nobel Sastra itu begitu mengagumi Prof. Fuad Hasan. Dalam tulisanya,
biarpun sudah 20 tahun tanpa membaca buku ia (Gunawan) masih teringat akan
pelajaranya. Inilah sebagian cuplikanya :
“Dosen kurus berpakaian putih-putih
itu bernama Fuad Hasan. Kini ia Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Saya
tak tahu bagaimana kelak ia akan dikenang sebagai seorang menteri dalam
sejarah, tapi ia akan tetap saya ingat
sebagai seorang guru dari jenis yang punya jejak panjang.
Guru jenis ini bias menggugah minat. Ia bias merangsang keasyikan menalar hingga
kitapun jadi tekun menggunakan kapasitas pemikiran kita untuk memecahkan soal.
Ia menghidupkan generator dalam diri kita untuk menjelajahi cakrawala pengetahuan
dan menjelajahi cakrawala adalah proses yang tak habis-habisnya. Karena itu
jejaknya panjang.
Saying tak semua guru seperti Fuad Hasan
( Catatan Pinggir 3 “GURU” hal.474)
Terus terang Gunawan Muhamad adalah penulis satu-satunya yang saya kagumi
dan saya idolakan. Membaca buku-bukunya seolah-olah kita menjadi orang yang
paling tahu dalam segala hal. Tapi
begitu ia (Gunawan) amat mengagumi
Fuad Hasan
seolah-olah jiwa saya mengikutinya. Oleh karena itu dari puncak pegunungan
sirau dan ruang sudut kantor SD terpencil saya ucapkan :
“Selamat hari Pendidikan Nasional semoga kita bisa menjadi Guru yang
dapat membuat nasi goreng komplit dan punya jejak panjang dalam artian murid
merasa nikmat dan nyaman dalam belajar dimana tanpa membuka buku dia akan teringat
pelajaran selamanya, amien. “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar